Minggu, 27 Mei 2012

KEGIATAN MAJELIS DAKWAH LDK-STIKES FA LUBUKLINGGAU


Kegiatan Dakwah Majelis Lembaga Dakwah Kampus (LDK) STIKES FITHRAH ALDAR LUBUKLINGGAU





















KEGIATAN DAKWAH DENGAN WAKIL WALIKOTA LUBUKLINGGAU, MAJELIS WAKIL CABANG NAHDATUL ULAMA KOTA LUBUKLINGGAU, MUSLIMAT SERTA FATAYAT NAHDATUL ULAMA KOTA LUBUKLINGGAU

DI MASJID NURUL ISLAM KELURAHAN JOGO BOYO KECAMATAN LUBUKLINGGAU UTARA II KOTA LUBUKLINGGAU MINGGU, 27 MEI 2012

Minggu, 20 Mei 2012

GADAI MENURUT ISLAM (LDK - STIKES FA LUBUKLINGGAU)

Hutang Gadai Bagaimana Menurut Islam ?


Kita mulai dengan masalah yang sering terjadi di sekitar kita :  mìsalnya Ahmad pinjam uang kepada Saleh senilai 10jt. Dengan kesepakatan Ahmad memberikan gadai sebidang tanah kepada saleh dan di ambil hasil panen oleh saleh. Tapi hutang ahmad tetap 10jt.. Menurut syariat gimana hukumnya ? apakah ini yang diistilahkan hutang gadai ?

Masalah Hutang Gadai




 Hutang Gadai Bagaimana Menurut Islam ?


Qord (hutang) adalah memberikan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan yang sepadan.
Kewajiban dalam hutang adalah mengembalikan yang sepadan (sama dengan hutang), sehingga persyaratan ketika akad mengembalikan lebih atau mengambil manfaat oleh pihak yang menghutangi (seperti contoh di atas) adalah riba yang haram dan akadnya batal. Rasulullah SAW bersabda :

“ Setiap hutang dengan menarik keuntungan (untuk pihak yang menghutangi) adalah riba “.
Namun jika mensyaratkan adanya barang jaminan (gadai) tanpa memanfaatkannya atau pihak yang berhutang memberikan izin secara sukarela tanpa persyaratan, maka hukumnya boleh.
Kesimpulan : jika persyaratan ketika akad hutang berupa pengambilan manfaat bagi orang yang menghutangi, maka dikategorikan sebagai riba yang haram. Namun jika persyaratan menyangkut kepentingan hutang seperti permintaan jaminan (gadai), maka hukumnya boleh.

Bagi orang yang menghutangi dilarang memanfaatkan barang jaminan (gadai) tanpa seizin pemilik barang.

contoh persoalan yang kedua..

seseorang yang kerjanya meminjamkan uang tapi dengan mengambil keuntungan, dan dia tau kalau itu haram. Lalu dia mencari jalan keluar dengan meminta keikhlasan bagi peminjam kalau mengembalikan uang hendaknya memberi keuntungan bagi yang meminjamkannya tanpa ada paksaan. Menurut Islam bagaimana dan apa jalan keluarnya seandainya itu haram biar bisa jadi halal dalam pekerjaannya. Bukan maksud kami untuk mencarikan jalan yang haram agar menjadi halal, tapi kami ingin membenai jalan hidup kami agar tahu pasti antara halal dan  haram.

Jawaban Mengenai Riba (Bunga Uang)

pengertian riba Riba (Bunga Uang) Apa Dan Bagaimana Hukumnya

Menghutangi dengan persyaratan bunga dalam akad adalah riba. Jika memberikan tambahan atas kemauan sendiri, maka bukan termasuk riba. Melakukan kesepakatan akan bunga hutang sebelum akad, sebagian ulama’ menghukumi makruh, namun mayoritas ulama’ menghukumi haram. Saran kami, tinggalkan cara-cara menghilah riba karena hukum makruh di sini hukum dhohir. Namun hukum bathin/akhirat tetap haram sebagaimana yang diterangkan oleh Alhabib Abdullah Al-Haddad. Bagi yang telah berbuat agar segera bertaubat serta mengembalikan semua bunga yang telah diambil dari orang-orang yang berhutang kepadanya atau meminta keikhlasan mereka dari lebihan tersebut.

QIRODH DALAM FIQH ISLAM (LDK - STIKES FA LUBUKLINGGAU)


Qirodh (menyerahkan harta milik).

 

Yang dimaksud dengan “al-qiradh” ialah menyerahkan harta milik, baik berupa uang, emas atau bentuk lain kepada seseorang sebagai modal usaha kerja dengan harapan akan mendapatkan keuntungan dan keuntungan tersebut dibagi dua menurut perjanjian ketika aqad.

Dengan demikian qiradh dapat menciptakan hubungan kerja yang baik dan saling menguntungkan. Qiradh ini pada dasarnya adalah saling percaya, baik pemilik modal ataupun yang mengelolanya. Karena hal ini dijalankan atas saling percaya maka jika terjadi hal-hal yang di luar dugaan seperti kerugian, maka kerugian itu ditutup dengan keuntungan. Jika dengan cara itu masih juga rugi, maka ditanggung oleh pemililk modal, kecuali jika terbukti bahwa kerugian itu diakibatkan penyalahgunaan dari orang yang menjalankan modal, maka wajarlah jka yang menjalankan modal itu yang menggantinya.
Rasulullah SAW bersabda :

Dari Shuhaib sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Tiga perkara yang mendapatkan berkah, yaitu jual-beli yang sampai batas waktu, memberi modal dan mencampur gandum dengan syair (keduanya adalah nama jenis gandum) untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad dhoif).

Qiradh hukumnya mubah atau boleh sejak terjadi aqad dalam waktu yang tidak terbatas. Qiradh dapat dibatalkan seaktu-waktu oleh pemilik modal karena keperluan/alasan tertentu. Apabila salah seorang di antara pemilik modal dan yang menjalankan modal sakit, gila, atau meninggal dunia, maka qiradh ini berakhir. Jika salah satu meninggal dunia, maka yang meneruskannya adalah ahli warisnya.

Rukun Qiradh

 1. Modal berupa uang tunai atau emas atau benda berharga lainnya yang dapat diketahui jumlah dan nilainya.

2. Pemilik modal dan yang menjalankan modal hendaknya orang yang sudah baligh, berakal sehat dan merdeka.

3. Lapangan kerja, yaitu pekerjaan berdagang yang tidak dibatasi waktu, tempat usaha ataupun barang-barang yang diperdagangkan.

4. Keuntungan ditentukan terlebih dahulu pada waktu mengadakan perjanjian.

5. Ijab/qabul (aqad qiradh).

Bentuk Qiradh

1. Qiradh dalam bentuk sederhana.
Qiradh ini dilakukan secara perorangan dan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, bahkan sebelum Islam datang. Nabi Muhammad SAW pernah menjalankan perdagangan yang modalnya kepunyaan Siti Khadijah.

2. Qiradh dalam bentuk Modern.
Qiradh ini biasa disebut mudharabah. Sebagai contoh yaitu bank Muamalat yang prinsip kerjanya berdasarkan syari’at Islam.

Seorang nasabah yang menyimpan uangnya mengadakan aqad dengan pihak bank, pihak bank akan menjalankan uang itu untuk berusaha, sedangkan keuntungannya nanti untuk kedua pihak dengan cara bagi hasil.

Demikian juga bagi nasabah yang ingin berdagang tapi tidak mempunyai modal, maka ia dapat menjalankan modal kepunyaan bank untuk berusaha. Aqad yang berlaku bagi kedua belah pihak adalah aqad qiradh atau mudharabah.

Tuntutan Sholat Jumat Bag. II (LDK - Stikes FA Lubuklinggau)


Hukum Sholat Jumat (Bag II) Khutbah Jumat dan Amalan Setelah Sholat Jumat


1. Apakah khutbah Jumat adalah syarat pelaksanaan Ibadah Sholat Jumat?
Jawab: Ya, khutbah Jumat 2 kali sebelum sholat (Jumat) adalah syarat sah pelaksanaan ibadah sholat Jumat. karena Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam ibadah sholat Jumat tidak pernah meninggalkannya. Pendapat yang menyatakan bahwa khutbah Jumat adalah syarat dalam pelaksanaan ibadah sholat Jumat adalah pendapat Imam 4 madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad) yang hampir merupakan ijma’ (kesepakatan) seluruh Ulama’. Hanya Hasan al-Bashri yang menyelisihi pendapat tersebut. ( Bisa dilihat pada Khutbatul Jum’ah wa Ahkaamuhal Fiqhiyyah karya Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdillah al-Juhailaan dengan taqdim dari Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh).
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا فَمَنْ نَبَّأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ فَقَدْ وَاللَّهِ صَلَّيْتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَيْ صَلَاةٍ
“Dari Jabir bin Samurah bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dalam keadaan berdiri kemudian beliau duduk kemudian berdiri berkhutbah. Barangsiapa yang memberitahukan kepadamu bahwa beliau duduk ketika berkhutbah, sungguh ia telah berdusta. Demi Allah aku telah sholat bersama beliau lebih dari 2000 sholat” (H.R Muslim)

2. Bagaimana tata cara khutbah Jumat?
Jawab:
Jika Khotib telah datang, maka ia naik ke atas mimbar mengucapkan salam menghadap ke arah hadirin, kemudian duduk. Selanjutnya muadzin mengumandangkan adzan Jumat sampai selesai. Kemudian Khotib mulai berkhutbah dengan suara keras dalam keadaan berdiri. Dimulai bacaan pujian kepada Allah, bersholawat kepada Nabi. Inti dari materi khutbah adalah memberikan peringatan dan nasehat yang menyentuh dan menggerakkan hati para hadirin untuk semakin takut, ingat, dan bersyukur kepada Allah. Akan lebih baik jika pada khutbah tersebut terdapat hal-hal berikut:
a. Anjuran untuk bertaqwa kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
b. Membaca meski cuma satu ayat AlQuran
c. Berdoa untuk pemerintah dan kaum muslimin secara umum (pada khutbah ke-2)
Khutbah dilakukan 2 kali, dipisahkan dengan duduk di antaranya.
Khotib hendaknya bertumpu/ berpegangan pada suatu tongkat atau semisalnya ;

شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ
“Kami mengikuti sholat Jumat bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, beliau berdiri dengan bersandar pada tongkat atau busur panah, kemudian beliau memuji Allah dan memujaNya, menyampaikan kalimat-kalimat yang ringan, baik, dan banyak keberkahan (H.R Abu Dawud dari al-Hakam bin Hazn, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan, dishahihkan oleh Ibnus Sakan dan Ibnu Khuzaimah).

Semestinya khotib juga menghadapkan wajahnya ke arah depan, tidak banyak menoleh ke arah kanan atau kiri, tidak banyak menggerakkan atau memberi isyarat dengan tangannya. Khotib hendaknya menjauhi penyampaian materi khutbah yang tidak ada kaitannya dengan tujuan khutbah Jumat diadakan. Khutbah juga tidak semestinya terlalu panjang sehingga membosankan, tidak pula terlalu pendek sehingga tidak ada faidah ilmu dan penambahan iman bagi jamaah.

3. Apakah diharuskan membaca doa pada saat khutbah?
Jawab:
Tidak diharuskan membaca doa pada saat khutbah, namun disunnahkan. Pada saat berdoa dalam khutbah, seorang Khotib tidak diperbolehkan mengangkat tangan sebagaimana dalam doa-doa lainnya, namun sekedar memberi isyarat dengan jari telunjuk.

عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ أنه رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ (زاد أبو داود : وَهُوَ يَدْعُو فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ) فَقَالَ: ( قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ (رواه مسلم وأبو داود)
Dari Umaroh bin Ruaybah bahwasanya ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangannya ketika berada di atas mimbar (dalam lafadz Abu Dawud: ‘pada saat berdoa hari Jumat), maka beliau berkata: Semoga Allah menjelekkan kedua tangan tersebut, sungguh aku telah melihat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah menambah kecuali hanya begini (beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk” (H.R Muslim dan Abu Dawud).
Imam anNawawi berkata: Dalam hadits ini terkandung dalil bahwa yang disunnahkan pada saat berdoa dalam khutbah adalah tidak mengangkat tangan. Ini adalah pendapat Malik dan Sahabat-sahabat kami (madzhab Asy-Syafi’i). Namun, untuk pelaksanaan doa pada istisqo’ yang bertepatan dengan Jumat, maka disunnahkan mengangkat tangan bagi Imam ketika berdoa sesuai hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik. Hadits tersebut menunjukkan disyariatkannya berdoa dalam khutbah, terbukti dengan persaksian Umaroh bin Ruaybah bahwa ia pernah melihat Nabi berdoa mengisyaratkan dengan jari telunjuk pada saat berkhutbah.
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi senantiasa berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat pada setiap khutbah Jumat adalah hadits lemah riwayat al-Bazzar. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan itu dalam kitab Bulughul Maram. Karena hadits tersebut lemah, maka membaca doa dalam khutbah bukanlah suatu keharusan (bukan rukun ataupun kewajiban khutbah).
4. Apakah khutbah Jumat harus dalam bahasa Arab?
Jawab:
Khutbah Jumat tidak harus menggunakan bahasa Arab jika memang para hadirin adalah orang-orang yang tidak memahami pembicaraan dalam bahasa Arab. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
مَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Tidaklah kami mengutus Rasul kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka” (Q.S Ibrahim:4)
Namun untuk ayat-ayat AlQur’an yang dibaca, seharusnya membaca sebagaimana lafadz aslinya, barulah kemudian diterjemahkan. Tidak seperti sebagian khotib yang membaca ayat-ayat AlQuran hanya dengan terjemahannya saja (disarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’).
5. Seseorang yang baru datang pada saat Imam sudah naik ke atas mimbar, apa yang seharusnya dia lakukan?
Jawab:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Jika datang seseorang pada hari Jumat, sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia sholat 2 rokaat dan meringkasnya” (H.R Muslim)
Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad berdalil dengan hadits ini bahwa seseorang yang masuk masjid dalam keadaan Imam sedang berkhutbah, maka hendaknya ia sholat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Jika seseorang tiba di masjid saat telah dikumandangkan adzan pada saat Imam sudah di atas mimbar, hendaknya ia segera sholat 2 rokaat, tidak menunggu selesainya adzan, karena yang lebih diutamakan adalah upaya agar bisa menyimak khutbah dari sejak awal (Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan).
Adapun jika datangnya pada saat adzan pertama, tidak mengapa ia menunggu dan menjawab ucapan muadzin sampai selesai sebagaimana terdapat keutamaan mengucapkan ucapan sebagaimana ucapan muadzin, kemudian barulah ia melakukan sholat 2 rokaat tahiyyatul masjid dengan ringkas.

إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
“Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah sebagaimana ucapan muadzin” (Muttafaqun ‘alaih).
6. Apa saja yang harus dan yang tidak boleh dilakukan oleh hadirin yang mendengarkan khutbah Jumat?
Jawab:

يَحْضُرُ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَةٌ فَرَجُلٌ حَضَرَهَا يَلْغُو فَذَاكَ حَظُّهُ مِنْهَا وَرَجُلٌ حَضَرَهَا بِدُعَاءٍ فَهُوَ رَجُلٌ دَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُ وَرَجُلٌ حَضَرَهَا بِإِنْصَاتٍ وَسُكُوتٍ وَلَمْ يَتَخَطَّ رَقَبَةَ مُسْلِمٍ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا فَهِيَ كَفَّارَةٌ إِلَى الْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ { مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا }(رواه أحمد, وأبو داود, وابن خزيمة و البيهقي )
“Tiga macam orang yang hadir pada sholat Jumat: (pertama) seseorang yang hadir dalam keadaan melakukan hal-hal yang sia-sia, maka itulah bagiannya (kesia-siaan), (kedua) seseorang yang hadir Jumat dengan berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla, jika Allah kehendaki, Allah beri, jika Allah kehendaki Allah tahan (terkabulnya doa tsb), dan (ketiga) seseorang yang hadir dalam keadaan diam, tenang dan tidak menyerukan dan memisahkan di antara dua muslim yang duduk, dan tidak menyakiti siapapun, maka itu adalah penebus dosa sampai Jumat selanjutnya dengan tambahan 3 hari, karena Allah berfirman: barangsiapa yang berbuat satu kebaikan, maka ia mendapat 10 kali lipat semisalnya (Q.S al-An’aam:160)(H.R Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan alBaihaqy, dihasankan oleh Syaikh al-Albaany).
Yang harus dilakukan oleh orang yang menghadiri Jumat adalah dia diam dan mendengarkan khutbah dengan baik. Sedangkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan:
Tidak boleh ia berbicara kepada siapapun, termasuk menyuruh diam orang yang berbicara, membalas salam hadirin yang baru datang, atau mengucapkan yarhamukallaah ketika ada yang bersin, tidak boleh menyibak di antara 2 orang (melangkahi pundak hadirin yang duduk). Tidak boleh pula menyakiti jamaah yang lain, dalam bentuk apapun, seperti menduduki sebagian pakaian atau anggota tubuh jamaah yang lain, atau menimbulkan bau tubuh/ pakaian yang tidak sedap, dan gangguan-gangguan yang lain (Lihat Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud).
Dalam kondisi mendesak atau dibutuhkan hadirin/ makmum boleh berbicara untuk kemaslahatan, seperti membenarkan bacaan Khotib yang salah dalam membaca ayat al-Quran yang berakibat kesalahan makna. Demikian juga, boleh bagi Imam untuk berbicara kepada seorang hadirin untuk suatu kemaslahatan, misalkan jika pengeras suara mengalami gangguan dan perlu sedikit pembenahan (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’)
7. Jika Khotib menyebutkan tentang Nabi, apakah makmum juga disunnahkan membaca sholawat?
Jawab : Syaikh Bin Baz menjelaskan bahwa tidak mengapa seseorang makmum mengaminkan doa atau mengucapkan sholawat pada saat mendengar khutbah jika disebutkan nama Nabi. karena hal itu bukan termasuk laghwun (kesia-siaan), namun dengan suara yang tidak keras. Jika ia diam, juga tidak mengapa. karena saat khutbah adalah saat yang diperintahkan makmum untuk diam dan menyimak. Yang dilarang adalah mengaminkan dan membaca sholawat dengan suara yang keras (Majmu’ Fataawa Bin Baz juz 30 halaman 242).
8. Apakah jika Khotib membaca doa, makmum yang mendengarkan doa juga mengaminkan dan mengangkat tangan?
Jawab: Makmum mengaminkan dengan suara yang cukup didengar oleh dirinya sendiri (tidak dikeraskan) dengan tidak mengangkat tangan (penjelasan Syaikh Sholih alFauzan dalam al-Mulakhkhosh al-Fiqhiy)
Demikian juga penjelasan Imam anNawawi dalam Syarh Shohih Muslim
9. Seseorang mengantuk ketika mendengarkan khutbah, apakah ia harus berwudlu’ lagi? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tersebut?
Jawab:
Mengantuk bisa membatalkan wudlu’, bisa juga tidak membatalkan. Batasannya adalah: jika dalam kondisi mengantuk tersebut ia sempat tertidur sampai jika seandainya ia berhadats, ia tidak merasakan, maka mengantuk yang demikian membatalkan wudlu’ (pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dinukil Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’).
Seseorang yang mengantuk sebaiknya berpindah tempat selama masih memungkinkan untuk berpindah dan perpindahan itu tidak mengganggu orang lain dan tidak menyibak/melangkahi pundak orang yang duduk.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
Dari Ibnu Umar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk pada hari Jumat, maka hendaknya berpindah dari tempat duduknya tersebut” (H.R Abu Dawud, atTirmidzi dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, adz-Dzahaby menyatakan bahwa hadits tersebut sesuai dengan syarat (Imam) Muslim).
10.Apakah sebaiknya Khotib merangkap sebagai Imam, atau Imam sholat adalah Imam rowatib pada masjid tersebut?
Jawab:
Sebaiknya Khotib adalah juga sebagai Imam jika hal tersebut memang dimaklumi oleh Imam rowatibnya, karena memang dalam hadits-hadits yang shohih, Nabi menyebut khotib yang berkhutbah sebagai Imam. di antaranya pada hadits-hadits:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Jika datang seseorang pada hari Jumat, sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia sholat 2 rokaat dan meringkasnya” (H.R Muslim)

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata kepada temanmu : ‘diamlah’, pada hari Jumat sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka engkau telah melakukan kesia-siaan” (Muttafaqun ‘alaih)
Namun jika Imam rowatib berpendapat bahwa dialah yang lebih berhak untuk menjadi Imam, karena keumuman dalil yang ada. janganlah seseorang khotib memaksakan dirinya untuk menjadi Imam sholat Jumat, karena Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يُؤَمُّ الرَّجُلُ فِي سُلْطَانِهِ
“Janganlah seseorang diimami dalam kekuasaannya (tanpa seijinnya)”(H.R atTirmidzi, anNasaai).

11. Bagaimana tata cara sholat Jumat?
Jawab : Sholat Jumat adalah 2 rokaat setelah dilakukan 2 kali khutbah Jumat, dengan tata cara seperti sholat 2 rokaat yang lain, hanya saja bacaan Al-Fatihah dan surat AlQuran yang dibaca Imam dibaca dengan suara keras (jahriyyah).
12. Surat apa yang disunnahkan dibaca dalam sholat Jumat?
Jawab: Surat yang disunnahkan dibaca dalam sholat Jumat adalah :
a. Surat al-Jumu’ah pada rokaat pertama dan surat al-Munafiquun pada rokaat kedua (hadits riwayat Muslim dari Ibnu Abbas), atau
b. Surat al-A’laa (Sabbihisma Robbikal A’la) pada rokaat pertama dan al-Ghosyiyah pada rokaat kedua (hadits riwayat Muslim dari an-Nu’man bin Basyiir)
Kalau seandainya Imam membaca selain surat-surat tersebut, tidak mengapa.

13. Bagaimana jika seseorang masbuq atau ketinggalan sholat Jumat, apa yang harus dilakukannya?
Jawab:
Seseorang yang masbuq dalam sholat Jumat ada beberapa keadaan:
a. Dia mendapati Imam dalam keadaan ruku’ di rokaat pertama, atau mendapati Imam dalam keadaan sebelumnya (sempat mendapatinya dalam keadaan berdiri), maka ia salam bersama Imam.
b. Dia mendapati Imam sudah melewati masa bangkit ruku’ menuju I’tidal di rokaat pertama sampai pada keadaan Imam belum bangkit dari ruku’ di rokaat kedua, maka ia menambah kekurangan sholatnya 1 rokaat.
c. Di mendapati sholat dalam keadaan Imam sudah melewati masa bangkit ruku’ di rokaat kedua maka ia tidak terhitung mendapatkan 1 rokaat pun bersama Imam, sehingga   ia tambah 4 rokaat.
Ibnu Mas’ud menyatakan:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يُدْرِكَ الرُّكُوعَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
“Barangsiapa yang mendapati satu rokaat Jumat hendaknya ia sholat (kekurangan rokaat) yang lain. Barangsiapa yang tidak mendapatkan ruku’, hendaknya ia sholat 4 rokaat”(riwayat Ibnu Abi Syaibah).

14. Apakah ada sholat sunnah setelah sholat Jumat? Berapa rokaat?
Jawab: Ya, jika seseorang sholat sunnah setelah sholat Jumat di masjid maka ia lakukan 4 rokaat dengan 2 salam, sebagaimana hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
Dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian sholat Jumat, maka hendaknya ia sholat setelahnya 4 rokaat (H.R Muslim).
Jika ia melakukannya di rumah (sepulang dari masjid) maka hendaknya ia lakukan 2 rokaat ;

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ
Dari Ibnu Umar beliau berkata adalah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat setelah Jumat dua rokaat di rumahnya (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ahmad. Al-Iraqy menyatakan bahwa sanad haditsnya shahih).
Pembagian keadaan 4 rokaat jika di masjid dan 2 rokaat jika di rumah tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan dinukil oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’aad. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat: siapa yang mau, ia bisa melakukan 2 rokaat, atau 4 rokaat, atau 6 rokaat. Mana saja yang ia pilih, itu sesuai dengan yang pernah dilakukan Nabi (Lihat Taudhihul Ahkaam karya Syaikh Aalu Bassam juz 2 halaman 235)

15. Apakah setelah sholat Jumat disunnahkan membaca AlFatihah 7x, al-Ikhlas 7x, al-Falaq 7x, dan anNaas 7x ?
Jawab:
Terdapat suatu hadits yang menyatakan:
من قرأ بعد صلاة الجمعة : قل هو الله أحد ، و قل أعوذ برب الفلق ، و قل أعوذ برب الناس سبع مرات ، أعاذه الله عز وجل من السوء إلى الجمعة الأخرى
Barangsiapa yang membaca setelah selesai sholat Jumat: Qul huwallaahu Ahad, Qul A’udzu birobbil falaq dan Qul A’udzu birobbinnaas 7 kali Allah akan melindunginya dari keburukan sampai Jumat selanjutnya (riwayat IbnusSunni dalam Amalul Yaum Wallailah dari Aisyah).
Namun hadits ini lemah, sebagaimana diisyaratkan oleh AlHafidz Ibnu Hajar. Di dalam perawinya ada al-Kholil bin Murroh yang sangat lemah dan dikatakan sebagai munkarul hadits oleh Imam AlBukhari. Hadits ini juga tidak bisa dikuatkan dengan jalur lain yang mursal dari Makhul. Karena selain kemursalannya, terdapat perawi Farj bin Fadholah yang dinyatakan juga munkarul hadits oleh Imam AlBukhari serta Ibnu Hibban menyatakantidak boleh berhujjah dengannya. Karena itu, tidak disunnahkan membaca bacaan tersebut. Syaikh Sholih al-Fauzan menjelaskan bahwa bacaan dzikir yang disunnahkan dibaca selepas sholat Jumat adalah sebagaimana bacaan dzikir selepas sholat fardlu yang lain.
Wallaahu A’lam .

Referensi :
1. Al Qur'anul Karim
 
2. Oleh Ustadz Kharisman

(Disampaikan Ba’da Isya’ di Masjid AnNuur Perum PJB Paiton Rabu malam Kamis 20 Dzulhijjah 1430 H/ 9 Desember 2009)

SHOLAT JUM'AT DAN TUNTUNANNYA (LDK - STIKES FA LUBUKLINGGAU)






Panduan Praktis Shalat Jumat Menurut Tuntunan Sunnah

Wahai orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikina itu lebih baikbagimu jika kamu mengetahuinya. (Qs. Al-Jumu'ah : 9)







Hukum shalat Jum'at




Shalat Jum'ah wajib bagi kau lelaki, yaitu sebanyak dua rakaat. Adapun detail tentangnya adalah firman Allah عزوجل : " Wahai orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikina itu lebih baikbagimu jika kamu mengetahuinya." (Qs. Al-Jumu'ah : 9)

Sabda Rasulallah صلى الله عليه وسلم : "sesungguhnya hari Jum'at penghulu semua hari dan paling agung disisi Allah, ia lebih agung di sisi Allah dari hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri. Dalam hari Jum'at trdapat lima keutamaan : pada hari itu Allah menciptakan Adam, padahari itu Allah menurunkan adam ke bumi, pada hari itu allah mewafatkan adam, pada hari itu ada satu saat yang tidaklah seorang hamba meminta kepada Allah sesuatu melainkan dia pasti memberikannya selama tidak meminta suatu yang haram, dan pada hari itu akan terjadi kiamat. Tidaklah malaikat yang dekat (kepada Allah), langit, bumi, angin, gunung, dan lautan, melainkan mereka semua merindukan hari Jum'at." (HR. Ibnu Majah)

Syarat syarat kewajiban Shalat Jum'at
Shalat Jum'at di wajibkan atas setiap muslim, laki-laki yang merdeka, sudah mukallaf, sehat badan serta muqaim (bukan dalam keadaan mussafir). Ini berdasarkan hadits Rasulallah صلى الله عليه وسلم : " Shal Jum'at itu wajib bagi atas setiap muslim, dilaksanakan secara berjama'ah kecualu empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang sakit." (HR. Abu Daud, Dan Al Hakim)
Adapun bagi orang musafir, maka tidak wajib melaksanakan shalat Jum'at, sebab Rasulallah صلى الله عليه وسلم pernah melakukan perjalanan untuk melakukan haji dan bertampur, namun tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau صلى الله عليه وسلم melakukan Shalat Jum'at. Begitu juga anak kecil dan wanita, begitu pula para budak.
Dalam sebuah atsar disebutkan, bahwa Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab melihat seseorang yang terlihat akan melakukan perjalanan, kemudian belau mendengar ucapannya, 'sesungguhnya hari ini bukan hari Jum'at, niscaya aku akan berpegian.' Maka Khalifah Umar berkata,' Silahkan anda pergi, sesungguhnya shalat Jum'at itu tidak menghalangimu dan berpegian.

Syarat-syarat Sahnya Shalat Jum'at
Untuk sahnya shalat Jum'at itu ada beberapa syarat, sebagai berikut:
1. Dilaksanakan di suatu perkampungan atau kota, karena di zaman Rasulallah صلى الله عليه وسلم tidak pernah dilaksanakan shalat kecuali di perkampungan atau di kota. Beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah menyuruh penduduk dusun (orang pedalaman) untuk melaksanakannya. Dan tidak pernah disebutkan bahwa ketika berpegian beliau صلى الله عليه وسلم melaksanakan shalat Jum;at.
2. Meliputi dua Khutbah. Ini berdasarkan pada perbuatan Rasulallah صلى الله عليه وسلم dan kebiasaan beliau صلى الله عليه وسلم dalam melaksanakannya. Juga dikarnakan Khutbah merupakan salah satu manfaat yang besar dari pelaksanaan shalat Jum'at. Karena ia mengandung dzikir kepada Allah عزوجل, peringatan terhadap kaum muslimin serta nasehat bagi mereka.
Kendatipun mereka tidak diwajibkan menghadiri Jum'at, jika mereka tetap hari dan shalat bersama imam maka kehadirannya dianggap sah dan tidak wajib lagi atasnya mendirikan shalat dzuhur seseudahnya.

Tata Cara Shalat Jum'at
"Hendaklah keluarnya imam setealah matahari tergelincir, kemudian mengucapkan salam kepada jama'ah setelah itu duduk. Selanjutnya Muadzin mengumandangkan adzan dzuhur. Bila adzan selesai, imam berdiri lagi untuk berkhutbah yang dimulai dengan pujian dan sanjungan kepada allah عزوجل. Shalawat dan salam atas hamba dan Rasulnya Muhammad صلى الله عليه وسلم . kemudian memberi peringatan dan nasehat kepada jama'ah –dengan suara lantang- memerintah dan melarang sebagaimana yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah عزوجل , member tarhib dan targhib dan mengingatkan mereka tentang janji dan ancaman. Setelah itu duduk sebentar, kemudian berdiri lagi untuk khutbah kedua yang dimulai pula pujian dan sanjungan kepada Allah عزوجل. Lalu menyambung khutbahnya yang pertama dengan suara sama yaitu suara yang lantang selayaknya suara komandan sedang menginstruksi suatu perintah kepada tentara. Dalam khutbah kedua ini tidak terlalu panjang, setelah usai segera turun yang dususl oelh iqamatnya muadzin.
Lalu shalat dua raka'at. Disunnakan pada raka'at pertama membaca Al-Fatihah dan surat Al-A'la dan pada yang kedua surat Al-Ghasiyah atau lainnya" (disebutkan dalam shahih Muslim, disunnahkan untuk membaca surat Al-Jum'ah dan Al-Munafiqun). (Lihat, Minhajul Muslim : 193)

Shalat Sunnah Sebelum Dan Sesudah Shalat Jum'at
Dianjurkan shalat sunnah sebelum pelaksaan shalat Jum'at semampunya sampai imam naik ke mimbar, karena pada waktu itu tidak dianjurkan lagi shalat sunnah, kecuali shalat tahiyatul masjid dan bagi orang yang (terlambat) masuk kedalam masjid. Dalam hal ini shalat tetap boleh dilakukan sekalipun imam sedang berkhutbah dengan catatan mempercepatkan pelaksanaannya.
Adapun setalah shalat, maka disunnahkan shalat empat raka'at atau dua raka'at. Ini berdasarkan sebuah riwayat dari muslim: "Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya beliau tidak shalat setalah menunaikan shalat Jum'at sehingga beliua kembali lalu shalat dua rakaat di rumahnya." (HR. Muslim : 882)


terima disampaikan kepada : Penerbit : Al Amin Publishing
Refrensi :
1. Syarah Arkhanul Islam Wal Imam Syaikh Muhammad Jamil Zainu
2. Minhajul Mislim, Abu Bakar Jabir Al Jazairi
3. Shalatul Jum'at, sa'id bin Ali bin Wahf Qaththani
4. Al Wjiz Fi Fiqih Sunnah Wal Kitabil Aziz, Oleh Syaikh Abdul Adzim BAdawi Al Kahlafi
5. Fiqhul Ibadah Biadilatiha Fi Islam, Syaikh Hassan Ayyub
6. Al Azis Syarah Al Wajiz, Muhammad bin Abdul Karim Ar- Rafi'I, Darul ilmiyah, cet 1, th 1417 H

MACAM-MACAM AIR MENURUT ISLAM (LDK - STIKES FA LUBUKLINGGAU)

Macam – macam Air Menurut Islam 

 

A. MACAM-MACAM AIR
Ada beberapa macam air yang bisa digunakan untuk bersuci, mayoritas ulama menyebutkan ada 7 macam air yang boleh dan sah di gunakan untuk bersuci , yaitu :
  1. Air hujan
  2. Air Sungai 
  3. Air Mata Air
  4. Air Laut
  5. Air Sumur
  6. Air embun
  7. Air Salju
Catatan :
Syaikh Ibrohim Al Bajuri dalam kitabnya Hasiyah Al Bajuri menuturkan urutan beberapa air yang memiliki nilai lebih di bandingkan dengan air-air lain karena memiliki nilai histories :
  1. Air terbaik adalah air yang pernah keluar dari sela-sela jari Rasulullah di saat para sahabat kehausan.
  2. Air zam zam 
  3. Air Telaga Al Kautsar 
  4. Air Sungai Nil
  5. Air sungai Furat, Dajlah dan seluruh air sungai yang ada di dunia.
B.  Pembagian Air

Dalam hubungannya dengan bersuci, air di bagi menjadi empat macam :

1. Air suci yang mensucikan dan boleh di gunakan.
Air ini di sebut air mutlaq, yaitu air yang tidak bercampur apapun, masih murni dan tidak ada benda atau zat lain yang merusak kemutlakannya.

2. Air suci yang mensucikan dan makruh di gunakan.

Yaitu air yang sebenarnya suci secara zatnya, juga mensucikan dan sah jika di gunakan untuk bersuci, tetapi makruh di gunakan untuk bersuci. Air jenis ini di sebut dengan Air Musyammas, yaitu air yang di panaskan pada sinar matahari. Air ini makruh di gunakan karena berdasarkan ilmu kedokteran, air yang telah di panaskan dengan sinar matahari bisa menyebabkan penyakit sopak. Akan tetapi, tidak semua air yang dipanaskan dengan sinar matahari makruh di gunakan, sebab ada syarat-syarat tertentu yang menyebabkannya makruh di gunakan, yaitu :
  • Air tersebut ketika dipanaskan berada pada tempat yang terbuat dari besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Jika terbuat dari kayu, plastic, tanah, kulit, emas dan perak, air tersebut tidak makruh digunakan.
  • Dipanaskan pada kondisi panas yang luar biasa
  • Tidak mudah mendingin kembali
  • Masih tersedia air yang lain selain air musyammas. Jika sama sekali tidak ada air lain selain air musyammas, maka boleh bahkan wajib menggunakan air musyammas untuk bersuci.
  • Di gunakan pada badan. Jika digunakan untuk mensucikan pakaian atau tempat, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat bahwa air musyammas tidak makruh digunakan, sebab menurut beliau, hadits yang menerangkan makruhnya air musyammas hukumnya lemah. Akan tetapi mayoritas mengatakan kemakruhannya.
Selain air musyammas, ada lagi air yang makruh di gunakan, yaitu :
  1. Air yang sangat panas, misalnya air yang baru saja di rebus. Air ini bisa dan boleh digunakan lagi serta tidak makruh lagi jika telah mendingin.
  2. Air yang sangat dingin, misalnya air yang tersimpan dalam kulkas dalam waktu lama. Air ini juga boleh di gunakan kembali dan tidak makruh setelah derajat kedinginannya kembali ke derajat normal.
3. Air suci tetapi tidak mensucikan.
     Air ini terbagi menjadi dua :
  • Air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk mensucikan najis atau hadats. Hukumnya suci, tetapi tidak sah digunakan untuk bersuci lagi.
  • Air yang berubah dari wujud aslinya, yaitu air yang berubah karena bercampur dengan benda suci lainnya. Contoh mudah untuk air jenis ini adalah air kopi, air teh, air susu dan lain-lain. Air ini sesungguhnya suci, buktinya tidak ada yang tidak mau jika di suguhi kopi, pasti mau meminumnya. Artinya air ini sebenarnya suci, tetapi tidak bisa mensucikan benda lain.
4. Air Najis, yaitu air yang bernajis meskipun sedikit. Bagian ini di bagi dua :
  • Air yang sedikit. Air dikatakan sedikit jika ukurannya kurang dari dua kullah, jika air kurang dari dua kullah kemasukan najis, maka hukumnya menjadi najis walaupun tidak ada perubahan apapun karena kemasukan najis itu tadi. Air ini mutlak tidak boleh digunakan untuk bersuci.
  • Air yang banyak. Air yang banyak adalah air yang mencukupi bahkan lebih dari dua kullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukumnya suci jika tidak terjadi perubahan pada warna, rasanya dan baunya. Tetapi jika ada perubahan walaupun sedikit pada salah satu sifatnya, maka hukumnya menjadi najis. Air ini tetap boleh digunakan bersuci dengan catatan tidak ada perubahan apapun jika kemasukan najis. Misalnya si A mengencingi air sungai, jika air kencing tersebut tidak menyebabkan bau, rasa dan baunya air sungai berubah, maka hukumnya tetap suci.
Catatan :
1. Ukuran air dua kullah adalah :
  • 174,580 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 55,9 cm ( Menurut Imam Nawawi ).
  • 176,245 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 56,19 cm ( Menurut Imam Rofii i ).
  • 270 liter menurut kitab Fiqh Islamiyah.
2. Air yang sedikit tidak menjadi najis jika kemasukan bangkai hewan yang tidak memiliki darah, seperti lalat, semut, lebah dan lain-lain.

KAJIAN TENTANG ILMU FIQH (LDK - STIKES FA LUBUKLINGGAU)

KAJIAN ILMU FIQIH

PENGANTAR

A. Pengertian Fiqih
  •  Secara bahasa : Al Fahmu ( Pemahaman )
  •  Secara Istilah : hukum-hukum syar’i yang berkenaan dengan amal yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
B. Pengertian Ilmu Fiqih
  • Secara bahasa : Al Ilmu : Mengetahui, Al Fiqhu : Al Fahmu ( Pemahaman )
  • Secara Istilah : Ilmu yang mempelajari hukum-hukum syar’i yang berkenaan dengan amal yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
C. Pembahasan ILMU FIQIH 
            Dalam pembahasannya kajian ilmu Fiqih meliputi :
  • IBADAH : meliputi thoharoh ( wudlu’, mandi, mensucikan najis, istinja’ dll ), Sholat, Zakat, Puasa dan Haji.
  • MUAMMALAH :  meliputi hukum jual beli, menyewa, meminjam dan lain-lain.
  • MUNAKAHAT :  meliputi : pernikahan dan perceraian.
  • JINAYAT :  tentang hukum2 kriminalitas, seperti hukum mencuri, berzina dan lain-lain.
Secara lebih luas, berikut pembahasan ilmu fiqih meliputi hukum – hukum syar’i yang berkaitan dengan amalan perbuatan lahiriyah manusia yang di dalam ilmu fiqh dikelompokkan dalam tujuh kelompok besar, yaitu:
  1. Hukum yang berkaitan dengan penyembahan secara khusus kepada Allah, mis: shalat, puasa,dll. Ini disebut dengan ibadah.
  2. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga seperti : pernikahan, perceraian, warisan. Ini disebut dengan Al Ahwal Asy Syakshiyah.
  3. Hukum yang berkaitan dengan mata pencaharian seorang manusia, interaksi ekonomi sesama mereka, qadha dalam perselisihan di antara mereka. Ini disebut dengan muamalat. Dari poin 2 dan 3 tersusun hukum yang dikenal dalam istilah perundang _ undangan saat ini sebagai hukum perdata.
  4. Hukum yang mengatur hubungan antara seorang pemimpin dan rakyatnya, hak dan kewajiban seorang pemimpin atau seorang rakyat, penataan negara Islam. Ini disebut dengan Al Ahkam As Sultaniyah atau As Siyasah Asy Syar’yah.
  5. Hukum yang mengatur hukuman atas seorang yang bersalah, penjagaan stabilitas internal dalam masyarakat. Ini disebut dengan Al Uqubat atau hukum pidana.
  6. Hukum yang mengatur hubungan antar negara, negara Islam dan bukan Islam, hukum perang dan damai. Dalam istilah saat ini disebut dengan Hubungan Internasional.
  7. Hukum yang berkaitan dengan moral, akhlaq pergaulan yang baik dan yang buruk. Ini disebut dengan Adab.
D. Hukum Mempelajari Hukum Fiqih
Ada dua:
  • Fardlu Ain : Setiap muslim wajib mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan ibadah seperti hukum-hukum berwudlu, sholat dan lain-lain.
  • Fardlu Kifayah. Jika dalam sebuah komunitas muslim sudah ada yang mempelajari selain masalah ibadah, misalnya masalah jinayat, tata Negara dan lain-lain, maka kewajiban menjadi gugur. Jelasnya, selain masalah ibadah, mempelajarinya hukumnya fardlu kifayah.
E. Keutamaan memiliki pengetahuan ilmu fiqih

Secara umum keutamaan memiliki pengetahuan ilmu fiqih adalah mempermudah kehidupan beragama setiap muslim. Kehidupan setiap muslim tidak pernah lepas dari masalah hokum agama. Jika dia mengetahui dengan masalah hokum, dia tidak akan mudah terjatuh dalam pelanggaran hokum. Jika menemukan kesulitan dalam beribadah, dia pasti menemukan solusinya.

Contoh kasus :

1. Si A sedang menanggung hadats kecil / besar, tetapi tidak ada air sama sekali, padahal dia harus berwudlu’ atau mandi karena menanggung hadats, bagaimana solusinya ? jika dia mengetahui ilmu fiqih, dia dengan mudah menggunakan solusinya yaitu tayammum.
2. Tersedia air hanya sedikit, sekitar satu botol aqua besar, dia harus berwudlu’ karena akan sholat, bagaimana solusinya ? jika dia mengetahui ilmu fiqih, dengan mudah melakukan wudlu’ dengan air yang hanya tersedia satu botol aqua tadi.
3. Dalam perjalanan sebuah kapal, ketika jam 12.30 kapal belum mendarat padahal dia wajib sholat dzuhur. Bagaimana solusinya ? jika tau ilmu fiqih dengan mudah dia menemukan solusinya yaitu dengan menjamak sholat dzuhurnya dengan sholat ashar ketika kapal sudah mendarat.
Pendek Kata, Mengetahui Hukum Fiqih Hidup Menjadi Senang, Mudah Dan Tenang / tidak bingung.
 
Sumber : http://min-syaamina.blogspot.com

MUNAKAHAT BAHAGIAN I (LDK - STIKES FA LUBUKLINGGAU)




Fiqih Munakahat dan Ruang Lingkupnya

Fiqih Munakahat dan Ruang Lingkupnya
  1. A.    Pengertian Fiqih Munakahat
Fiqih Munakahat terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan munakahat. Berikut penjelasan dari fiqih, munakahat, dan fiqih munakahat.
  1. Fiqih
Fiqih adalah satu term dalam bahasa Arab yang terpakai dalam bahasa sehari-hari orang Arab dan ditemukan pula dalam Al-Qur’an, yang secara etimologi berarti “paham”. Dalam mengartikan fiqih secara terminologis terdapat beberapa rumusan yang meskipun berbeda namun saling melengkapi. Ibnu Subki dalam kitab Jam’al-Jawami’ mengartikan fiqih itu dengan:
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من أد لتها التفصلية.
Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafsili.
Dalam definisi ini “fiqih diibaratkan” dengan “ilmu” karena memang dia merupakan satu bentuk dari ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dengan prinsip dan metodologinya.[1]
Dalam literatur berbahasa Indonesia fiqih itu biasa disebut Hukum Islam yang secara definitif diartikan dengan : “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Ilahi dan penjelasannya dalam sunnah Nabi tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Dengan pengertian ini fiqih itu mengikat untuk semua ummat Islam dalam arti merupakan kewajiban umat Islam untuk mengamalkannya. Mengamalkannya merupakan suatu perbuatan ibadah dan melanggarnya merupakan pelanggaran terhadap pedoman yang telah ditetapkan oleh Allah.[2]
  1. Munakahat
Kata “munakahat” term yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan.[3] Kata kawin adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan perkawinan.[4] Dalam fiqih Islam perkataan yang sering dipakai adalah nikah atau zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: Dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”          
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka”
Pengertian nikah atau zawaj secara bahasa syari’iah mempunyai pengertian secara hakiki dan pengertian secara majazi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’) sedang pengertian majazinya adalah akad. Kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan. Namun pengertian yang lebih umum dipergunakan adalah pengertian bahasa secara majazi, yaitu akad.
Ada beberapa perbedaan pendapat diantara ulama’ tentang nikah.
-          Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya(hakiki), dapat berarti juga hubungan kelamin, namun dalam arti tidak sebenarnya(majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memerlikan penjelasan di luar kata itu sendiri.
-          Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.
Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik pandangan.
  1. Fiqih Munakahat
Bila kata “fiqh” dihubungkan dengan kata “munakahat”, maka artinya adalah perangkat peraturan yang bersifat amaliyah furu’iyah berdasarkan wahyu Illahi yang mengatur hal ihwal yang berkenaan dengan perkawinan yang berlaku untuk seluruh umat yang beragama Islam.[5]
  1. B.  Dasar Fiqih Munakahat
Perkawinan atau pernikahan dalam Islam merupakan ajaran yang berdasar pada dalil-dalil naqli. Terlihat dalam Al-Qur’an dan as-sunnah dan dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan. Ajaran ini disyari’atkan mengingat kecenderungan manusia adalah mencintai lawan jenis dan memang Allah menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan. Dasar-dasar dalil naqli tersebut diantaranya :
  1. Al-Qur’an
QS. Ar-Ra’d : 38
ولقد ارسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم ازواجا وذرّيّة
Artinya : “Dan sesungguhnya kami telah mengutus para rasul sebelum kamu (Muhammad) dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturuna”.
Pensyariatan pernikahan sudah ada sejak umat sebelum nabi Muhammad saw Allah menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa rasul sebelum Muhammad telah diutus dan mereka diberi istri-istri dan keturunan.
Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang perintah menikahi wanita-wanita yang baik untuk dijadikan pasangan hidupnya. Allah akan memberikan rizki kepada mereka yang melaksanakan ajaran ini, dan ini merupakan jaminan Allah bahwa mereka hidup berdua beserta keturunannya akan di cukupkan oleh Allah .
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dengan perkawinan antara wanita dan laki-laki yang menjadi jodohnya akan menimbulkan rasa saling mencintai dan kasih sayang, dan ini merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.
  1. Hadist Nabi
عن عبد الله بن مسعود ض. قال : قال رسول الله ص. : يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج. فإنه اغصن للبصر واحصن للفرج. ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء.
Artinya: “dari Abdullah bin mas’ud r.a. ia berkata : rasulullah saw pernah bersabda kepada kami: “hai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup untuk kawin maka hendaklah ia kawin. Maka kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang di larang oleh agama ) dan lebih menjaga kemaluan, dan barang siapa tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu merupakan perisai baginya.”
Dari dalil tersebut jelas bahwa pernikahan adalah syari’at islam dan termasuk sunnah nabi yang harus ditiru dan dilaksanakan apabila telah mampu dan memenuhi persyaratan dan rukunnya.
  1. C.  Hikmah Nikah
Abu Hurairah ra. Berkata : nabi bersabda:
من احب فطرتي فليستن بسنتي وإنّ من سنتي النكاح
Artinya: barang siapa yang suka kepada syari’atku, maka hendaklah mengikuti sunnahku (perjalananku) dan termasuk sunnahku adalah nikah.
Nikah (kawin) dalam islam merupakan sunnatullah, dan mengandung beberapa hikmah bagi manusia. Hikmah tersebut dapat dilihat dari segi-segi psikologi, sosiologi dan kesehatan.[6]
  1. Hikmah Nikah Dari Psikologi
Hikmah nikah dilihat dari segi psikologi diantaranya seperti yang di ungkapkan oleh sayyid sabiq, sebagai berikut :
  1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya maka banyaklah manusia yang mengalami goncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.[7]
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya:Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). 
Sebagaimana yang dikatakan oleh imam Syafi’i bahwa pandangan orang laki-laki terhadap perempuan lain atau bukan muhrimnya tidak ada keperluan maka tidak diperbolehkan (haram).[8]
  1. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan saying yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
  1. Hikmah Nikah dari Segi Sosiologi
Hikmah nikah dilihat dari segi sosiologi diantaranya seperti Sayyid Sabiq, yaitu sebagai berikut:
  1. Kawin adalah jalan terbaik dalam rangka memperbanyak keturunan dengan menjaga terpeliharanya nasab, membuat anak-anak menjadi mulia serta melestarikan hidup manusia, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt.
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Artinya: Dan Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”
  1. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap sungguh-sungguh dalam mengembangkan bakat dan rajin dalam mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
  2. Dengan perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, rasa cinta antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang.
  1. Hikmah Nikah Dari Segi Kesehatan
Sayyid Sabiq mengutip salah satu pernyataan hasil penelitian tentang nikah dan kesehatan yang dilakukan PBB yang dimuat dalam harian nasional bahwa orang yang bersuami umurnya lebih panjang daripada orang yang tidak bersuami istri baik karena menjanda, bercerai ataupun sengaja membujang. Pernyataan itu selanjutnya menjelaskan di berbagai Negara, orang-orang kawin pada umur yang masih muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur orang-orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang.
Pernyataan di atas sesuai dengan hadist nabi Saw :

يا معشر الناس اتقواالزنى فإن فيه ست حصال ثلاثا فى الدنيا وثلاثا فى الاخرة اما التى فى الدنيا فيذهب البهاء ويورث الفقر وينقص العمر واما التى فى الاخرة فسخط الله وسؤ الحساب وعذاب النار
Artinya: wahai umat manusia, takutlah terhadap perbuatan zina, karena perbuatan zina akan mengakibatkan 6 perkara. Yang tiga didunia dan yang tiga ialah : menghilangkan wibawa, mengakibatkan kefakiran, mengurangi umur dan tiga lagi yang akan dijadikan Allah hisab yang jelek  (banyak dosa), dan siksaan neraka.

Lain dari itu hikmah perkawinan ialah memelihara diri seseorang, supaya jangan jatuh kelembah kejahatan (perzinaan). Karena bila ada istri di sampingnya akan terhindarlah ia dari pada melakukan pekerjaan yang keji itu. Begitu juga wanita yang di samping suaminya, tentu akan terhindar dari maksiat.[9]
Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi hikmah-hikmah perkawinan itu banyak antara lain:
  1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara individual.
  2. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. Kehidupan tidak akan tenang kecuali dengan adanya ketertiban rumah tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud kecuali harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu.
  3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan cirri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.[10]
Dalam kaitan ini rasulullah SAW bersabda :
ليتخذ احدكم قلبا شاكرا ولسانا ذاكرا وزوجة مؤمنة صالحة تعنيه على اخرته
Hendaklah di antara kamu sekalian menjadikan hati yang bersyukur, lidah yang selalu mengingat Allah, dan istri mukminah shalihah yang akan menyelamatkannya di akhirat.

  1. D.  Ruang Lingkup Fiqih Munakahat
Ruang lingkup fiqih munakahat ada 3 yaitu :
  1. Meminang
Sebagai langkah awal dari perkawinan itu adalah menentukan dan memilih jodoh yang akan hidup bersama dalam perkawinan. Dalam pilihan itu dikemukakan beberapa alternatif kriteria dan yang paling utama untuk dijadikan dasar pilihan. Setelah mendapatkan jodoh sesuai dengan pilihan dan petunjuk agama, tahap selanjutnya menyampaikan kehendak untuk mengawini jodoh yang telah didapatkan itu. Tahap inilah yang disebut meminang atau khitbah.
  1. Nikah
Sesudah itu masuk kepada bahasan perkawinan itu sendiri yang menyangkut rukun dan syaratnya, serta hal-hal yang menghalangi perkawinan itu. Selanjutnya membicarakan kehidupan rumah tangga dalam perkawinan yang menyangkut kehidupan yang patut untuk mendapatkan kehidupan yang sakinah, rahmah, dan mawaddah. Hak-hak dan kewajiban dalam perkawinan.
  1. Talak
Dalam kehidupan rumah tangga mungkin terjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, yang menyebabkan perkawinan itu tidak mungkin dipertahankan. Untuk selanjutnya diatur pula hal-hal yang menyangkut putusnya perkawinan dan akibat-akibatnya. Dalam perkawinan itu lahir anak, oleh karena itu dibicarakan hubungan anak dengan orang tuanya.
Setelah perkawinan putus tidak tertutup pula kemungkinan pasangan yang telah bercerai itu ingin kembali membina rumah tangga. Maka untuk itu dipersiapkan sebuah lembaga yaitu rujuk.[11]


DAFTAR PUSTAKA


Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Saleh, Husni M., Fiqh Munakahat, Surabaya : Dakwah Digital Press, 2008.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006.

[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), 2.
[2] Ibid., 5
[3] Ibid., 5
[4] Husni M. Saleh, Fiqh Munakahat, (Surabaya : Dakwah Digital Press, 2008), 1.
[5] Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 5.
[6] Husni, Fiqh Munakahat, 10.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, jilid II, 10.
[8] Mustafa Dibuu Bigha, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah : 1985), 247.
[9] Husni , Fiqh Munakahat, 15-18.
[10] Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 65-66.
[11] Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 19-20.

Jumat, 18 Mei 2012

Syarah Bulughul Maram - Kitab Thoharoh (bag.II) (LDK - Stikes FA Lubuklinggu)

Syarah Bulughul Maram - Kitab Thaharah (bagian Kedua )

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :
كِتَابُ الطَّهَارَةِ

( Kitab Thaharah )
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah-:

كِتَابُ الطَّهَارَةِ
 

( Kitab Thaharah )

Syarah:
Definisi Kitab
Berkata Ibnul Mulaqqin dalam ‘Al-I’lam bifawa`idi ‘umdatil ahkam 1135 “yang dimaksud dengan kitab (adalah) apa-apa yang mengumpulkan beberapa bab yang semuanya kembali pada satu pokok”. Lihat juga Nailul Author karya Asy-Syaukany 123.


Definisi Thaharah
Thaharah secara bahasa adalah berbersih dan bersuci dari kotoran-kotoran. Lihat Al-I’lam 1135, Nailul Author 123 dan Al-Mubdi’ Karya Ibnu Muflih 130. Adapun secara istilah, menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, Thaharah digunakan dalam dua makna:


Pertama: Thaharah Maknawiyah, yaitu membersihkan hati dari kesyirikan dalam beribadah kepada Allah dan membersihkannya dari penipuan dan kedengkian kepada para hamba-hamba Allah yang beriman. 

Thaharah Maknawiyah inilah yang merupakan asal dalam thaharah dan Thaharah Maknawiyah lebih umum dari thaharah badan bahkan thaharah badan tidak mungkin terwujud selagi najis kesyirikan masih mengotori Thaharah Maknawiyah. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ
“Sesungguhnya kaum musyrikin itu adalah najis”. (Q. S. At-Taubah: 28).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
“Sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis”. (HSR. Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah). 

Kedua: Thaharah Hissiyah, yaitu Thaharah badan.
Lihat: Asy-Syarah Al-Mumti’ 119 dan Fathu dzil Jalaly wal Ikram bi Syarah Bulughul Maram hal. 39-40, keduanya karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Demikian makna thaharah secara umum. Adapun dalam bab fiqh, thaharah yang diinginkan adalah Thaharah Hissiyah. Karena itulah definisi thaharah dalam uraian ‘ulama fiqh kebanyakannya seputar Thaharah Hissiyah. Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ syarah Al-Muhadzhab 1123: “Thaharah dalam istilah ahli fiqh adalah menghilangkan hadats, najis atau apa-apa yang semakna dengan keduanya dan di atas bentuknya. ”

Dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam 1136 memandang bahwa definisi thaharah yang paling baik dan paling ringkas adalah: “Pekerjaan yang menjadikan diperbolehkannya sholat dengan (mengerjakan)nya. ” Berkata Ibnu Rusyd Al-Qurthuby dalam Bidayatul Mujtahid 17: “Kaum muslimin sepakat bahwa thaharah yang syar’i ada dua ; thaharah dari hadats dan thaharah dari najis. Dan mereka (kaum muslimin) sepakat bahwa thaharah dari najis tiga jenis ; wudhu, mandi, dan pengganti dari keduanya yaitu tayammum. “
Wajibnya Thaharah Untuk Shalat
 

Dalil dari Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) ummat menunjukkan wajibnya ber- thaharah untuk shalat dan shalat tidaklah syah keculai dengan thaharah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi”.

Dan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غَلُوْلٍ
“Tidaklah diterima sholat tanpa thaharah dan tidak pula shadaqah dari ghulul (curian dari harta rampasan perang). ” (H. S. R. Muslim).

Dan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda:
لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak akan menerima sholat salah seorang dari kalian apabila ia berhadats sampai ia berwudhu. ” (H. S. R. Muttafaqun ‘alaihi). Adapun kesepakatan ummat terhadap hal di atas, telah dinukil oleh Ibnu Mundzir dalam Al-Ausath 1106, Ibnu Hubairoh dalam Al-Ifshoh 167 dan An-Nawawy dalam Syarah Muslim 31. 2.

Referensi bacaan :

www. an-nashihah. com/?page=artikel-detail&topik=&artikel=8
sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Al Ustadz Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

THOHAROH DALAM FIQH BAG. II (LDK-STIKES FA LUBUKLINGGAU)

THOHAROH BAG. II

Fiqih Thaharah: Hukum Haidh, Nifas, dan Jinabat, serta Mandi



Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Kajian ini masih dalam topik pembahasan Fiqih thaharah. Kali ini yang akan dibahas adalah mengenai Haidh, Nifas, Jinabat, dan mengenai mandi. Selamat menyimak.

A. Haidh,  Nifas dan Jinabat
  1. Haidh: adalah darah yang keluar dari wanita dalam keadaan sehat, minimal sehari semalam menurut Syafi’iyyah, dan tiga hari menurut mazhab Hanafi. Umumnya tujuh hari, dan maksimal sepuluh  hari menurut mazhab Hanafi, dan lima belas hari menurut mazhab Syafi’iy. Jika darah itu berlanjut melebihi batas maksimal disebut darah ISTIHADHAH.
  2. Nifas: yaitu darah yang keluar dari wanita setelah melahirkan. Minimal tidak ada batasnya, dan maksimal empat puluh hari sesuai dengan hadits Ummu Salamah: Para wanita yang nifas pada zaman Rasulullah saw menunggu empat puluh hari. HR Al Khamsah, kecuali An Nasa’iy.
  3. Jinabat:  Seseorang menjadi junub karena berhubungan seksual, atau karena keluar sperma dalam kondisi tidur maupun melek/terjaga.
  4. Hukum wanita haidh dan nifas bahwa mereka tidak berpuasa dan wajib qadha hari Ramadhan yang ditinggalkan; tidak wajib shalat dan tidak wajib qadha shalat yang ditinggalkan; diharamkan baginya dan suaminya berhubungan seksual;  tidak diperbolehkan juga baginya dan orang yang junub melakukan thawaf; menyentuh mushaf, membawanya, membaca Al Qur’an kecuali yang sudah menjadi doa atau basmalah; tidak boleh juga berada di masjid; sebagaimana diharamkan pula atas orang yang junub melakukan shalat bukan puasa.
B.  Mandi
Mandi adalah mengalirkan air suci mensucikan ke seluruh tubuh. Dasar hukumnya adalah firman Allah:
“… dan jika kamu junub maka mandilah” (QS Al Maidah: 6)

1.      Penyebab Wajib Mandi
  • Keluar mani disertai syahwat pada waktu tidur maupun terjaga, oleh laki-laki maupun wanita, seperti hadits Rasulullah SAW: الماء من الماء air itu dari air” (HR Muslim). Hal ini disepakati oleh tiga imam mazhab. Berdasarkan hadits ini maka keluar mani tanpa disertai syahwat, seperti karena sakit, kedinginan, kelelahan, dsb tidak mewajibkan mandi. Asy Syafi’i menyaratkan kewajiban mandi karena keluar mani, oleh sebab apapun meskipun tanpa syahwat.
  • Hubungan seksual, meskipun tidak keluar mani, karena sabda Rasulullah SAW: “Ketika sudah duduk dengan empat kaki, kemudian khitan bertemu khitan, maka wajib mandi” (HR Ahmad, Muslim dan At Tirmidzi).
  • Selesai haidh dan nifas bagi wanita. Karena firman Allah: “…. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222)
  • Mayit muslim, wajib dimandikan oleh yang hidup, karena sabda Nabi: “…mandikanlah dengan air dan daun bidara.” (Muttafaq alaih), kecuali syahid di medan perang.
  • Orang kafir ketika masuk Islam, karena hadits Qais bin Ashim bahwasanya ia masuk Islam, lalu Rasulullah menyuruhnya agar mandi dengan air dan daun bidara. HR Al Khamsah kecuali Ibnu Majah.
2.      Mandi Sunnah
Seorang muslim disunnahkan mandi dalam keadaan berikut ini:
  • Hari Jum’at, karena sabda Nabi: “Jika datang kepada salah seorang di antaramu hari Jum’at maka hendaklah mandi.” (HR Al Jama’ah), disunnahkan mandinya sebelum berangkat shalat Jum’at
  • Mandi untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha, hukumnya sunnah menurut para ulama
  • Mandi karena selesai memandikan jenazah, sesuai sabda Nabi: “Barang siapa yang selesai memandikan hendaklah ia mandi.” (HR Ahmad dan Ashabussunan).
  • Mandi ihram bagi yang hendak menunaikan haji atau umrah, seperti dalam hadits Zaid bin Tsabit bahwasanya Rasulullah SAW melepaskan bajunya untuk ihram dan mandi. (HR Ad Daruquthniy Al Baihaqi dan At Tirmidziy yang menganggapnya hasan)
  • Masuk untuk memasuki kota Mekah. Rasulullah SAW melakukannya seperti yang disebutkan dalam hadits shahih, demikian juga mandi untuk wukuf di Arafah.
3. Rukun Mandi
  • Niat, karena hadits Nabi: Sesungguhnya amal itu dengan niat. Dan juga untuk membedakannya dari kebiasaan, dan tidak disyaratkan melafalkannya, karena tempatnya ada di hati.
  • Membasuh seluruh tubuh, karena firman Allah: “… (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa: 43). Dan hakikat mandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh.
  • Mazhab Hanafi menambahkan rukun ketiga yaitu: berkumur, menghisap air ke hidung, yang keduanya sunnah menurut imam lainnya.
4. Sunnah Mandi
  • Membaca basmalah
  • Membersihkan najis fisik jika ada
  • Berwudhu (berkumur dan menghisap air ke hidung)
  • Mengulanginya tiga kali dalam setiap membasuh organ tubuh dan memulainya dari kanan lalu kiri
  • Meratakan air, mensela-sela jari, rambut, membersihkan ketiak, lubang hidung dan pusar.
  • Menggosok dan terus menerus tidak terputus basuhannya
5. Cara  Mandi
Dari Aisyah dan Maimunah RA: bahwasanya Rasulullah saw jika mandi junub – mau mandi – memulai dengan mencuci dua tangannya dua atau tiga kali, kemudian menuangkan air dari kanan ke kiri, lalu membersihkan kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, kemudian mengambil air dan dimasukkan ke pangkal rambut, kemudian membasuh kepalanya tiga guyuran sepenuh tangannya, kemudian mengguyurkan air ke seluruh badan, lalu membasuh kakinya (Muttafaq alaih).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/09/14948/fiqih-thaharah-hukum-haidh-nifas-dan-jinabat-serta-mandi/#ixzz1vICfoqp3

THOHAROH DALAM FIQH ISLAM (LDK-STIKES FA LUBUKLINGGAU)


Fiqih Thaharah: Hukum Air dan Najis






dakwatuna.com – Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin dibersihkan. Oleh karena itu, artikel ini memaparkan secara sederhana mengenai hukum air, Berwudhumacam-macam najis, bagaimana cara membersihkan najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat. Semoga bermanfaat.
Hukum Air

















Empat macam air itu adalah:
  1. Air Muthlaq, seperti air hujan, air sungai, air laut; hukumnya suci dan mensucikan
  2. Air Musta’mal, yaitu air yang lepas dari anggota tubuh orng yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak mengenai benda najis; hukumnya suci seperti yang disepakati para ulama, dan tidak mensucikan menurut jumhurul ulama
  3. Air yang bercampur benda suci, seperti sabun dan cuka, selama percampuran itu sedikit tidak mengubah nama air, maka hukumnya masih suci mensucikan, menurut Madzhab Hanafi, dan tidak mensucikan menurut Imam Syafi’i dan Malik.
  4. Air yang terkena najis, jika mengubah rasa, warna, atau aromanya, maka hukumnya najis tidak boleh dipakai bersuci, menurut ijma’. Sedang jika tidak mengubah salah satu sifatnya, maka mensucikan, menurut Imam Malik, baik air itu banyak atau sedikit; tidak mensuciakn menurut Madzhab Hanafi; mensucikan menurut Madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua kulah, yang diperkirakan sebanyak volume tempat yang berukuran 60 cm3.
Su’r (sisa) yaitu air yang tersisa di tempat minum setelah diminum:
  1. Sisa anak Adam (manusia) hukumnya suci, meskipun ia seorang kafir, junub, atau haidh.
  2. Sisa kucing dan hewan yang halal dagingnya, hukumnya suci.
  3. Sisa keledai dan binatang buas, juga burung, hukumnya suci menurut madzhab Hanafi.
  4. Sedangkan sisa anjing dan babi, hukumnya najis menurut seluruh ulama


Najis dan Cara Membersihkannya

A. Najis

Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh setiap muslim, dengan mencuci benda yang terkena.
Macam najis:
  1. Air kencing, tinja manusia, dan hewan yang tidak halal dagingnya, telah disepakati para ulama. Sedangkan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya najis menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i; dan suci menurut madzhab Maliki dan Hanbali.
  2. Madzyi, yaitu air putih lengket yang keluar ketika seseorang sedang berpikir tentang seks dan sejenisnya.
  3. Wadi, yaitu air putih yang keluar setelah buang air kecil.
  4. Darah yang mengalir. Sedangkan yang sedikit di-ma’fu. Menurut madzhab Syafi’i darah nyamuk, kutu, dan sejenisnya dima’fu jika secara umum dianggap sedikit.
  5. Anjing dan babi
  6. Muntahan.
  7. Bangkai, kecuali mayat manusia, ikan dan belalang, dan hewan yang tidak berdarah mengalir.
B. Menghilangkan najis
Jika ada najis yang mengenai badan, pakaian manusia, atau lainnya, maka wajib dibersihkan. Jika tidak terlihat, maka wajib dibersihkan tempatnya sehingga dugaan kuat najis telah dibersihkan. Sedangkan pembersihan bejana yang pernah dijilat anjing, wajib dibasuh dengan tujuh kali dan salah satunya dengan debu.
Sedangkan sentuhan anjing dengan fisik manusia, tidak membutuhkan pembersihan melebihi cara pembersihan yang biasa . Sedang najis sedikit yang tidak memungkinkan dihindari, hukumnya dimaafkan. Demikianlah hukum sedikit darah dan muntahan. Diringankan pula hukum air kencing bayi yang belum makan makanan, hanya cukup dengan diperciki air.
C. Adab Buang Hajat
Jika seorang muslim hendak buang hajat, maka harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
  1. Tidak membawa apapun yang ada nama Allah, kecuali jika takut hilang.
  2. Membaca basmalah, isti’adzah ketika masuk, dan tidak berbicara ketika ada di dalamnya.
  3. Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya. Hal ini harus menjadi perhatian setiap muslim jika membangun kamar mandi.
  4. Jika sedang berada di perjalanan, tidak boleh melakukannya di jalan, atau di bawah teduhan. Harus menjauhi liang hewan.
  5. Tidak kencing berdiri, kecuali jika aman dari percikan (seperti kencing di tempat kencing yang tinggi; urinoir)
  6. Wajib membersihkan najis yang ada di organ pembuangan dengan air atau dengan benda keras lainnya, tidak dengan tangan kanan. Membersihkan tangan dengan air dan sabun jika ada.
  7. Mendahulukan kaki kiri ketika masuk dengan membaca:
    اللهمّ إني أعوذ بك من الخبث والخبائث وأعوذ بك ربي أن يحضرون “
    , dan keluar dengan kaki kanan sambil membaca: غفرانك

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/03/456/fiqh-thaharah/#ixzz1vIBOOHRW