Minggu, 20 Mei 2012

MUNAKAHAT BAHAGIAN I (LDK - STIKES FA LUBUKLINGGAU)




Fiqih Munakahat dan Ruang Lingkupnya

Fiqih Munakahat dan Ruang Lingkupnya
  1. A.    Pengertian Fiqih Munakahat
Fiqih Munakahat terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan munakahat. Berikut penjelasan dari fiqih, munakahat, dan fiqih munakahat.
  1. Fiqih
Fiqih adalah satu term dalam bahasa Arab yang terpakai dalam bahasa sehari-hari orang Arab dan ditemukan pula dalam Al-Qur’an, yang secara etimologi berarti “paham”. Dalam mengartikan fiqih secara terminologis terdapat beberapa rumusan yang meskipun berbeda namun saling melengkapi. Ibnu Subki dalam kitab Jam’al-Jawami’ mengartikan fiqih itu dengan:
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من أد لتها التفصلية.
Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafsili.
Dalam definisi ini “fiqih diibaratkan” dengan “ilmu” karena memang dia merupakan satu bentuk dari ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dengan prinsip dan metodologinya.[1]
Dalam literatur berbahasa Indonesia fiqih itu biasa disebut Hukum Islam yang secara definitif diartikan dengan : “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Ilahi dan penjelasannya dalam sunnah Nabi tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Dengan pengertian ini fiqih itu mengikat untuk semua ummat Islam dalam arti merupakan kewajiban umat Islam untuk mengamalkannya. Mengamalkannya merupakan suatu perbuatan ibadah dan melanggarnya merupakan pelanggaran terhadap pedoman yang telah ditetapkan oleh Allah.[2]
  1. Munakahat
Kata “munakahat” term yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan.[3] Kata kawin adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan perkawinan.[4] Dalam fiqih Islam perkataan yang sering dipakai adalah nikah atau zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: Dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”          
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka”
Pengertian nikah atau zawaj secara bahasa syari’iah mempunyai pengertian secara hakiki dan pengertian secara majazi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’) sedang pengertian majazinya adalah akad. Kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan. Namun pengertian yang lebih umum dipergunakan adalah pengertian bahasa secara majazi, yaitu akad.
Ada beberapa perbedaan pendapat diantara ulama’ tentang nikah.
-          Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya(hakiki), dapat berarti juga hubungan kelamin, namun dalam arti tidak sebenarnya(majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memerlikan penjelasan di luar kata itu sendiri.
-          Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.
Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik pandangan.
  1. Fiqih Munakahat
Bila kata “fiqh” dihubungkan dengan kata “munakahat”, maka artinya adalah perangkat peraturan yang bersifat amaliyah furu’iyah berdasarkan wahyu Illahi yang mengatur hal ihwal yang berkenaan dengan perkawinan yang berlaku untuk seluruh umat yang beragama Islam.[5]
  1. B.  Dasar Fiqih Munakahat
Perkawinan atau pernikahan dalam Islam merupakan ajaran yang berdasar pada dalil-dalil naqli. Terlihat dalam Al-Qur’an dan as-sunnah dan dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan. Ajaran ini disyari’atkan mengingat kecenderungan manusia adalah mencintai lawan jenis dan memang Allah menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan. Dasar-dasar dalil naqli tersebut diantaranya :
  1. Al-Qur’an
QS. Ar-Ra’d : 38
ولقد ارسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم ازواجا وذرّيّة
Artinya : “Dan sesungguhnya kami telah mengutus para rasul sebelum kamu (Muhammad) dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturuna”.
Pensyariatan pernikahan sudah ada sejak umat sebelum nabi Muhammad saw Allah menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa rasul sebelum Muhammad telah diutus dan mereka diberi istri-istri dan keturunan.
Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang perintah menikahi wanita-wanita yang baik untuk dijadikan pasangan hidupnya. Allah akan memberikan rizki kepada mereka yang melaksanakan ajaran ini, dan ini merupakan jaminan Allah bahwa mereka hidup berdua beserta keturunannya akan di cukupkan oleh Allah .
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dengan perkawinan antara wanita dan laki-laki yang menjadi jodohnya akan menimbulkan rasa saling mencintai dan kasih sayang, dan ini merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.
  1. Hadist Nabi
عن عبد الله بن مسعود ض. قال : قال رسول الله ص. : يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج. فإنه اغصن للبصر واحصن للفرج. ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء.
Artinya: “dari Abdullah bin mas’ud r.a. ia berkata : rasulullah saw pernah bersabda kepada kami: “hai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup untuk kawin maka hendaklah ia kawin. Maka kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang di larang oleh agama ) dan lebih menjaga kemaluan, dan barang siapa tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu merupakan perisai baginya.”
Dari dalil tersebut jelas bahwa pernikahan adalah syari’at islam dan termasuk sunnah nabi yang harus ditiru dan dilaksanakan apabila telah mampu dan memenuhi persyaratan dan rukunnya.
  1. C.  Hikmah Nikah
Abu Hurairah ra. Berkata : nabi bersabda:
من احب فطرتي فليستن بسنتي وإنّ من سنتي النكاح
Artinya: barang siapa yang suka kepada syari’atku, maka hendaklah mengikuti sunnahku (perjalananku) dan termasuk sunnahku adalah nikah.
Nikah (kawin) dalam islam merupakan sunnatullah, dan mengandung beberapa hikmah bagi manusia. Hikmah tersebut dapat dilihat dari segi-segi psikologi, sosiologi dan kesehatan.[6]
  1. Hikmah Nikah Dari Psikologi
Hikmah nikah dilihat dari segi psikologi diantaranya seperti yang di ungkapkan oleh sayyid sabiq, sebagai berikut :
  1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya maka banyaklah manusia yang mengalami goncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.[7]
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya:Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). 
Sebagaimana yang dikatakan oleh imam Syafi’i bahwa pandangan orang laki-laki terhadap perempuan lain atau bukan muhrimnya tidak ada keperluan maka tidak diperbolehkan (haram).[8]
  1. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan saying yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
  1. Hikmah Nikah dari Segi Sosiologi
Hikmah nikah dilihat dari segi sosiologi diantaranya seperti Sayyid Sabiq, yaitu sebagai berikut:
  1. Kawin adalah jalan terbaik dalam rangka memperbanyak keturunan dengan menjaga terpeliharanya nasab, membuat anak-anak menjadi mulia serta melestarikan hidup manusia, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt.
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Artinya: Dan Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”
  1. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap sungguh-sungguh dalam mengembangkan bakat dan rajin dalam mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
  2. Dengan perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, rasa cinta antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang.
  1. Hikmah Nikah Dari Segi Kesehatan
Sayyid Sabiq mengutip salah satu pernyataan hasil penelitian tentang nikah dan kesehatan yang dilakukan PBB yang dimuat dalam harian nasional bahwa orang yang bersuami umurnya lebih panjang daripada orang yang tidak bersuami istri baik karena menjanda, bercerai ataupun sengaja membujang. Pernyataan itu selanjutnya menjelaskan di berbagai Negara, orang-orang kawin pada umur yang masih muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur orang-orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang.
Pernyataan di atas sesuai dengan hadist nabi Saw :

يا معشر الناس اتقواالزنى فإن فيه ست حصال ثلاثا فى الدنيا وثلاثا فى الاخرة اما التى فى الدنيا فيذهب البهاء ويورث الفقر وينقص العمر واما التى فى الاخرة فسخط الله وسؤ الحساب وعذاب النار
Artinya: wahai umat manusia, takutlah terhadap perbuatan zina, karena perbuatan zina akan mengakibatkan 6 perkara. Yang tiga didunia dan yang tiga ialah : menghilangkan wibawa, mengakibatkan kefakiran, mengurangi umur dan tiga lagi yang akan dijadikan Allah hisab yang jelek  (banyak dosa), dan siksaan neraka.

Lain dari itu hikmah perkawinan ialah memelihara diri seseorang, supaya jangan jatuh kelembah kejahatan (perzinaan). Karena bila ada istri di sampingnya akan terhindarlah ia dari pada melakukan pekerjaan yang keji itu. Begitu juga wanita yang di samping suaminya, tentu akan terhindar dari maksiat.[9]
Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi hikmah-hikmah perkawinan itu banyak antara lain:
  1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara individual.
  2. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. Kehidupan tidak akan tenang kecuali dengan adanya ketertiban rumah tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud kecuali harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu.
  3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan cirri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.[10]
Dalam kaitan ini rasulullah SAW bersabda :
ليتخذ احدكم قلبا شاكرا ولسانا ذاكرا وزوجة مؤمنة صالحة تعنيه على اخرته
Hendaklah di antara kamu sekalian menjadikan hati yang bersyukur, lidah yang selalu mengingat Allah, dan istri mukminah shalihah yang akan menyelamatkannya di akhirat.

  1. D.  Ruang Lingkup Fiqih Munakahat
Ruang lingkup fiqih munakahat ada 3 yaitu :
  1. Meminang
Sebagai langkah awal dari perkawinan itu adalah menentukan dan memilih jodoh yang akan hidup bersama dalam perkawinan. Dalam pilihan itu dikemukakan beberapa alternatif kriteria dan yang paling utama untuk dijadikan dasar pilihan. Setelah mendapatkan jodoh sesuai dengan pilihan dan petunjuk agama, tahap selanjutnya menyampaikan kehendak untuk mengawini jodoh yang telah didapatkan itu. Tahap inilah yang disebut meminang atau khitbah.
  1. Nikah
Sesudah itu masuk kepada bahasan perkawinan itu sendiri yang menyangkut rukun dan syaratnya, serta hal-hal yang menghalangi perkawinan itu. Selanjutnya membicarakan kehidupan rumah tangga dalam perkawinan yang menyangkut kehidupan yang patut untuk mendapatkan kehidupan yang sakinah, rahmah, dan mawaddah. Hak-hak dan kewajiban dalam perkawinan.
  1. Talak
Dalam kehidupan rumah tangga mungkin terjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, yang menyebabkan perkawinan itu tidak mungkin dipertahankan. Untuk selanjutnya diatur pula hal-hal yang menyangkut putusnya perkawinan dan akibat-akibatnya. Dalam perkawinan itu lahir anak, oleh karena itu dibicarakan hubungan anak dengan orang tuanya.
Setelah perkawinan putus tidak tertutup pula kemungkinan pasangan yang telah bercerai itu ingin kembali membina rumah tangga. Maka untuk itu dipersiapkan sebuah lembaga yaitu rujuk.[11]


DAFTAR PUSTAKA


Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Saleh, Husni M., Fiqh Munakahat, Surabaya : Dakwah Digital Press, 2008.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006.

[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), 2.
[2] Ibid., 5
[3] Ibid., 5
[4] Husni M. Saleh, Fiqh Munakahat, (Surabaya : Dakwah Digital Press, 2008), 1.
[5] Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 5.
[6] Husni, Fiqh Munakahat, 10.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, jilid II, 10.
[8] Mustafa Dibuu Bigha, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah : 1985), 247.
[9] Husni , Fiqh Munakahat, 15-18.
[10] Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 65-66.
[11] Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 19-20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar